Bab 84
Bab 84
Segelas air panas dengan goji berry disodorkan ke hadapan Selena. “Jika tidak bisa minum, jangan dipaksa. Cinta bisa melukai hati, minuman keras bisa merusak tubuh. Nona sebaiknya jangan minum minuman beralkohol, minumlah segelas air hangat untuk menghangatkan perut.”
Suara Johan terdengar lembut, seperti sosok seorang kakak laki-laki. Dia tahu identitas Selena, jadi dia pun juga sangat memperhatikannya.
Selena tersenyum dengan penuh rasa terima kasih ke arah Johan. Namun, sebelum sempat mengucapkan terima kasih, Harvey menatapnya dengan sorot mata yang lebih dingin lagi.
“Masih ada dua gelas,” ujar Harvey mengingatkannya dengan nada suara yang dingin.
Johan tahu betapa pentingnya Selena bagi Harvey, sehingga Johan pun langsung mengernyitkan keningnya. Ada hal tertentu yang sudah terjadi, bukan hanya melukai orang lain, tetapi juga
melukai diri sendiri.
“Baik.” Selena mengangkat gelas itu tanpa ragu—ragu, seperti seorang jenderal yang akan pergi berperang dan tidak akan pernah kembali. Selena bertekad untuk langsung meminumnya sampai
habis. Gelas kedua ini serasa seperti racun yang menembus ususnya. Efek alkohol datang terlalu cepat, sehingga Selena tiba—tiba terjatuh.
Dunia serasa berputar, Selena mengira dirinya akan jatuh dengan keras menghantam meja, tetapi ternyata tubuhnya dipeluk oleh pria itu.
Di tengah teriakan, Selena dipeluk oleh pria itu dan dibawa pergi dengan cepat. Selena pun berkata dengan linglung, “Masih ada satu gelas lagi.”
Selena terlempar ke kursi belakang mobil. Harvey menatapnya dengan tatapan marah. “Selena, kamu mau buat ulah apa lagi? Belum puas juga bersandiwara?” tanya Harvey.
Kepala Selena terasa sangat pusing karena tubuhnya dibanting. Tanpa memedulikan hal yang lain lagi, dia pun berlutut di kursi belakang mobil dan mengulurkan tangan untuk meraih ujung pakaian Harvey, lalu memohon dengan putus asa seperti anak kecil yang menginginkan permen.
“Temukanlah Leo, lakukan operasi otak untuk ayahku. Berapa pun utang ayahku padamu, akan kubayar.”
Harvey menunduk dan menatap wajah Selena yang mulai mabuk. Wajah pucat Selena juga mulai memerah. Meskipun sudah tidak bisa mengendalikan diri, Selena masih berusaha untuk tetap
menjaga kesadaran dirinya.
“Harvey, kalau kamu ingin memukul, membunuh, atau mempermalukan aku, kamu bisa
melakukannya. Aku hanya punya satu orang keluarga, yaitu ayahku. Aku mohon, lepaskanlah dia
Harvey menatapnya dengan tatapan menghina sambil berkata, “Kamu datang untuk membayar? Dengan apa kamu akan membayar? Selain nyawamu, apa lagi yang kamu miliki?”
Selena melepaskan tangannya, lalu menatap Harvey dengan ekspresi tak berdaya sambil berkata, “Harvey, apa yang harus kulakukan agar kamu puas?”
“Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa adik perempuanku sudah mati, Selena. Aku tidak ingin kamu mati, tetapi aku juga tidak ingin kamu hidup bahagia. Apakah kamu mengerti? Jika kamu hidup dalam penderitaan, barulah aku akan merasa bahwa hidupku memiliki sedikit
nilai.”
“Harvey, kamu sangat kejam...”
Butiran—butiran air mata mengalir melalui sela—sela jari—jari Selena.
Wajah Selena yang begitu patuh dan menyedihkan, telah membangkitkan perasaan tegugah dan iba di lubuk hati Harvey.”
Terutama saat melihat air mata Selena, Harvey pun menyadari bahwa dirinya tidaklah sebahagia seperti apa yang dia katakan sendiri.
Harvey dengan gelisah menarik—narik dasinya, lalu menarik lengan panjang Selena. Selena pun diseret dengan kasar ke dalam pelukannya hingga menghantam dadanya dengan keras.
Kepalanya yang sudah pusing pun terasa semakin pusing karena benturan itu. Selena baru saja ingin berbicara, tetapi tatapannya bertemu dengan sorot mata Harvey yang dingin.
Tanpa diduga sama sekali, Harvey menutup mulut Selena dan membungkam semua suaranya. Dengan kuat dan angkuh, Harvey menguasai setiap jengkal tubuh Selena dan membuat Selena
merasakan aroma tubuhnya.”
Harvey merasa gelisah dan tidak tenang. Di satu sisi, dia tidak rela Selena bahagia dan ingin menjatuhkannya ke neraka. Harvey sebenarnya ingin melihat Selena menderita di neraka, tetapi dia tidak merasakan
kepuasan sama sekali. Hatinya terasa seperti ada batu besar yang menyumbat, hingga
membuatnya sesak napas.
Ketika bibir tipis Harvey menyentuh Selena, tercium aroma tubuh Selena yang familier, sehingga
perlahan-lahan kegelisahan di hati Harvey pun mereda.
Mereka berdua bagaikan segumpal benang kusut yang saling terikat. Semakin berusaha
melepaskan diri, ikatan itu justru semakin terlilit dengan erat.Material © NôvelDrama.Org.
44
Ketika Harvey dengan cekatan membuka ritsleting jaketnya, Selena pun mengulurkan kedua tangannya ke arah dada Harvey untuk mencegah tindakan pria itu
“Jangan!” Wajah Selena tampak penuh dengan rasa penolakan, hal ini semakin memicu ketidakpuasan Harvey
Harvey menundukkan kepalanya dan menatap Selena, lalu mengulangi kata—katanya tadi, “Kamu sendiri yang tadi menyuruhku memperlakukanmu sesuka hati.”