Bad 1124
Bad 1124
Bab 1124 Menguping
“Tentu.” Raisa mengangguk.
Sonia sedang berdiri di pojokan, berpura–pura menelepon. Dia senang melihat Raisa dan keluarganya pergi. Begitu dia pergi, saya akan punya kesempatan untuk mendekati Rendra.
Begitu mereka masuk ke dalam mobil, Roni mengeluh, “Kenapa buru–buru sekali? Saya mau minum beberapa gelas bir lagi sama Wirawan.”
“Sudah. Kita akan pulang.” Clara tampak kesal, dan emosinya mulai melonjak.
Raisa masuk ke kursi pengemudi. Dia menyesuaikan tempat duduk sampai dia merasa nyaman di sana, lalu menghidupkan mobilnya. Clara duduk di kursi belakang. Dia menatap putrinya, dan
sudah kelewat
menangis kesal. Dia melihat ke luar, dadanya terasa pengap. Dia pikir putrinya :
batas.
Raisa terus mengemudi. Dia juga merasa sedikit gugup. Ibunya biasanya senang mengobrol dengannya, tetapi selain ayahnya yang bergumam mabuk, tak ada yang mengatakan apa–apa. Bahkan jika ibunya angkat bicara, itu hanya untuk menegur Roni.
Yah, ini sedikit membuat pening. Akhirnya, dia bertanya. “Ibu baik–baik saja?”
“Nyetir saja dulu. Kita akan bicara saat kita sampai di rumah.” Clara menahan emosinya. Dia tak ingin memulai apa pun ketika putrinya sedang mengemudi.
Raisa melihat ke kaca spion. Clara tampak serius.NôvelDrama.Org: owner of this content.
Kembali ke Kediaman Hernandar, Anita merasa bosan karena Raisa pergi dan tak ada siapa–siapa yang diajak bicara. Dia baru saja kembali ke ruang tamu setelah menelepon, tetapi Raditya tidak ada di sana. Dia bertanya kepada pelayan di mana Raditya.
“Tuan Raditya dan tuan muda ada di ruang kerja,” jawab pelayan itu.
Anita menuju ke ruang kerja, tetapi dia tidak langsung masuk. Sebaliknya, dia menyandarkan telinganya ke pintu untuk menguping. Seseorang sedang berbicara di dalam, dan itu Raditya. Raditya terdengar terkejut.
“Kamu mundur dari pemilu?”
Hal tersebut mengejutkan Anita. Dia memegang kenop pintu, dan sekarang dia sudah membuka pintu sedikit.
Rendra menjawab dengan tenang, “Ya, saya mundur.”
Raditya tersentak dan bertanya, “Kenapa? Kenapa kamu mundur? Karena Raisa?”
Anita hampir melompat kaget. Ya Tuhan. Bijaksana sedikit, Raditya!
Rendra menyipitkan matanya karena terkejut. “Dan bagaimana kamu tahu tentang itu?”
“Kamu benar–benar menyukainya?” tanyanya. Dia terbiasa berterus terang.
Rendra menuju ke jendela Prancis. “Ya, saya menyukainya,” jawabnya, masih setenang biasanya.
“Itu alasannya kamu mundur? Karena dia? Kakek tidak akan menerima ini, Paman. Dan ibu saya juga pasti tidak. Dan semua orang yang mendukungmu. Mereka mendukungmu karena mereka memercayaimu. Kamu akan mengecewakan mereka,” bantah Raditya. Dia segera berjalan menuju
Rendra.
Anita begitu asyik dengan percakapan itu, dia memutar kenop pintu tanpa sadar, dan pintu terbuka. Dia terkesiap dan terjatuh ke lantai. “Aduh!” Lututnya sakit karena benturan itu.
Raditya menatapnya, dan jantungnya berdetak kencang. Dia segera mengangkat Anita. Anita tersipu. “Maaf. Saya tidak bermaksud menguping.”
Rendra berbalik. Anita merupakan wanita yang menyenangkan, dan Rendra merasa demikian karena apa yang dia lakukan untuk Raisa saat makan malam.
“Kamu sakit” Raditya mengajaknya ke sofa dan berjongkok untuk memeriksanya.
“Tidak, saya tidak apa.” Sepetinya saya tidak berada di sini. Dia berdiri dan tertatih–tatih menuju pintu. “Kalian berdua, silakan lanjutkan. Saya akan pergi sekarang.”
Raditya berkata, “Saya akan mengantarnya ke kamarnya, Paman.”
“Silakan.” Rendra mengangguk.
Lututnya pasti terluka. Raditya menggendong Anita dan pergi.
Anita menyalahkan dirinya sendiri karena menyela percakapan mereka. Dia takut Raditya akan memarahinya.