Bab 2096
Bab 2096
Bab 2096 Harga yang Harus Dibayar
“Menemuiku?” Dewi agak tertegun, lalu bertanya, “Apa ingin menginterogasiku?”
“Tentu saja bukan.” Pangeran Willy lekas berkata, “la tahu identitasmu dan tak mencurigai ucapanmu. Ia hanya ingin bertemu secara langsung untuk memahami situasi.”
“Kalau begitu minta ia kemari.” Dewi bicara tanpa berpikir, “Datang kemari untuk melihat sumber air langsung, temui orang–orang di dalam kastel. Ia juga dapat membawa tim medis kemari untuk memeriksa.”
“Ugh….” Pangeran Willy membelalakkan mata terkejut, “Ini….”
“Kamu tak berani bilang? Biar aku saja.” Dewi langsung merebut ponsel Pangeran Willy dan berkata pada Yang Mulia di seberang, “Yang Mulia, Anda sudah dengar ucapanku barusan, ‘kan?”
Di seberang telepon, Yang Mulia itu terdiam beberapa detik, baru mulai bicara, “Ternyata memang Tabib Dewa legendaris itu, sangat berkarisma!”
“Aku hanya bicara sesuai fakta.” Dewi berkata dengan tenang, “Apa gunanya aku ke istana kerajaan? Kalau kamu percaya padaku, maka tak perlu memintaku ke sana. Kalau tak percaya, untuk apa juga aku ke sana? Lebih baik Anda sendiri yang kemari membawa tim medis dan memeriksa kebenaran itu.”
“Dewi….”
“Kamu tahu, kamu sedang bicara dengan siapa?”
Yang Mulia kelihatan tenang, tapi ada sedikit ancaman dalam nada bicaranya. Jelas sekali, ia tak suka dengan sifat Dewi, jadi mulai menekannya.Belongs to © n0velDrama.Org.
“Aku selalu seperti ini bicara dengan siapa pun.” Sikap Dewi tetap sama, “Semua orang setara, selain itu, aku juga bukan rakyat Anda. Aku menghormati Anda hanya karena Anda adalah kakek dari temanku, Willy.”
Ucapan ini membuat atmosfer semakin tegang.
Tidak ada suara di seberang telepon, Pangeran Willy lekas mengingatkannya, “Dewi ….
“Aku tak salah bicara kok….”
“Bagus, bagus sekali.” Yang Mulia tiba–tiba tertawa, “Kamu memiliki temperamen dan pantang menyerah, seharusnya kamu tak akan berbohong. Aku akan ke sana sendiri.”
“Baiklah, aku menunggu Anda.”
Dewi membalas ucapannya, lalu melempar ponsel ke arah Pangeran Willy.
Pangeran Willy hampir tak berhasil menangkapnya. Ia terkejut hingga wajahnya memucat, ia tak
mudah memegang ponsel dengan benar, lekas meminta maaf pada Yang Mulia, “Kakek, maaf, Dewi memang selalu sulit diatur. Akú mewakilinya meminta maaf padamu…”
“Sifatnya mirip sekali dengan L.” Yang Mulia menjawab dengan datar, “Pantas bisa jadi pasangan!”
Ketika mendengar ucapan ini, Pangeran Willy tertegun, lalu segera menjawab, “Iya….”
“Berteman dengan Ladalah hal baik.” Yang Mulia berkata dengan penuh arti, “Dua hari ini aku ada urusan, lusa nanti aku baru ke sana.”
“Baik, Anda akan disambut kapan pun.” Setelah menutup telepon, Pangeran Willy mendongak menatap Dewi. Tatapannya penuh rasa terima kasih, “Dewi, terima kasih!”
“Terima kasih apa?” Dewi sedang memeriksa ponselnya, mengetahui Lorenzo belum
meneleponnya dan mengiriminya pesan, tampaknya pria itu sungguh marah. Jadi, menggunakan cara dingin ini untuk menghukumnya.
“Kalau bukan karena kamu yang meminta Yang Mulia kemari, aku sama sekali tak berani mengatakan hal itu….” Pangeran Willy mengolok–olok dirinya sendiri, “Ia selalu berada di posisi teratas, ia tak bisa disinggung. Tak disangka, ia sungguh setuju untuk kemari.”
“Bukankah ini hal baik?” Dewi berkata, “Saatnya marah ya marah, kalau tidak, akan selalu ditindas.”
“Benar.” Pangeran Willy menganggukkan kepala.
“Oh ya, apa Robin ada menjelaskan segala situasimu pada Yang Mulia? Apa Yang Mulia percaya?” tanya Dewi.
“Sudah.” Pangeran Willy berwajah serius, “Tapi Yang Mulia tak mengungkapkan pendapatnya, ia hanya bilang ingin bertemu denganmu. Kurasa ia sedang mempertimbangkannya….”
“Mempertimbangkan apa?” Dewi bertanya dengan kebingungan, “Kebenaran masalah ini?”
“Bukan.” Pangeran Willy menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut, “la seharusnya percaya masalah ini benar. Yang ia pertimbangkan adalah harga yang harus dibayar ketika mengatasi masalah ini… Apakah layak atau tidak?”