Chapter 14
Chapter 14
BAB 14 I Dia Menolak Untuk Ingat
Begitu bangun dari tidur, Via langsung berlari ke toilet dan memuntahkan isi perut di closet, Tubuh Via terduduk di lantai saat tidak ada yang keluar. Lama dia berdiam sebelum akhirnya mencuci mulut dan wajah. Seluruh persendian terasa sakit, membuat Via ingin berbaring barang satu dua menit.
Suara alaram membangunkan Via kembali, dia mengernyit heran mendapati waktu berlalu cepat. Rasanya dia hanya berbaring lima menit, tidak mengira sudah berlalu selama dua jam. Còntens bel0ngs to Nô(v)elDr/a/ma.Org
“Via? Apa kau baik-baik saja?” tanya Willow yang mengetuk pintu dari luar.
Via pun bangkit dari kasur dan memeriksa wajah yang masih sembab.
“Aku akan keluar sebentar lagi,” jawab Via sembari berjalan menuju kamar mandi hendak membersihkan diri.
Di ruang makan semua menu sarapan sudah tersaji di meja. Willow terlihat sibuk membersihkan wajan dan panic di westafel. Ada rasa bersalah melihat Willow bekerja sendiri, membuat Via sedikit tidak enak hati. 1
“Maaf kan aku tidak membantu,” kata Via yang bergabung dengan gadis muda itu.
Willow tersenyum dan membereskan cucian. 1
“Tidak apa-apa, aku dibayar untuk ini,” ucap Willow setelah mengeringkan tangan dengan serbet bersih.
“Kau dibayar untuk menjagaku bukan untuk bersih-bersih.”
Gadis muda itu melirik ke arah Via. “Aku tidak pernah tahu rasanya jatuh cinta, begitu pula dengan patah hati, tetapi melihatmu yang tersiksa. Aku berdoa semoga tidak pernah merasakan yang kau alami. Anggap saja tuhan mengirimkan seorang teman untuk membantu selama kau berkabung atas hatimu yang luka.” Willow menarik kursi dan menyuruh Via duduk. “Banyak pelajaran kudapat darimu, jadi jangan mengatakan sesuatu karena kau tidak enak hati.”
Bibir Via mengulum senyum, walau tidaklah selebar biasa, tetapi dia bersyukur tidak mati rasa.
Keduanya makan dengan khidmat, sesekali Willow mengatakan sebuah cerita tentang orang orang di desa yang Via dengarkan seksama.
“Kita bisa pergi ke pusat desa, dan berkeliling melihat-lihat, sekalian berkunjung ke penginapan tempat kau akan bekerja nantinya. Bagaimana?” Ajakan Willow terdengar menarik, tetapi Via masih merasa tidak enak badan. Dia malas walau hanya berkeliling saja.
“Mungkin lain kali, aku masih tidak ingin keluar dalam kondisi seperti ini.”
Willow menatap Via simpati. “Baiklah, tetapi aku ingin pergi ke rumah untuk menjemput beberapa baju. Kau ingin titip sesuatu?”
Kepala Via menggeleng pelan. “Belanjaan yang sepupumu bawa sudah cukup. Tetapi …,” Via menggigit bibir hendak menanyakan sesuatu.
Gadis muda di hadapannya mendengarkan dengan wajah penasaran.
“Aku ingin membeli mobil untuk kendaraan selam di sini. Apa kau tahu seseorang yang menjual mobil bekas? Karena aku tidak butuh mobil baru.”
Kepala Willow mengangguk antusias. “Asher pasti tahu seseorang, akan kuhubungi dia bila sampai di desa.”
Via menyebutkan range harga dan spesifikasi mobil yang dia inginkan, dan Willow mencatat baik-baik di kepala untuk disampaikan pada Asher nanti. Setelah diskusi dan sarapan berakhir, keduanya bubar menjalankan kegiatan masing-masing. Via dengan rajutan yang lagi-lagi gagal, sedangkan Willow membersihkan dapur sebelum kembali pulang ke rumah.
Sean duduk di sofa dengan kedua tangan menangkup wajah. Tubuhnya bergetar karena tarikan napas keras dan jantung berdebar tanpa irama, sedangkan Daren yang duduk di seberang hanya bisa menatap sahabatnya simpati.
“Akan kubantu mencari keberadaan wanita itu,” kata Daren mencoba meredakan Sean yang gelisah.
Sudah beberapa hari Sean berprilaku bagai remaja tempramen dengan emosi tak terkendali. Bahkan karyawan di Luna Star heran mendapati sikap CEO mereka berubah menjadi pria pemarah tanpa disiplin seperti junjungan yang dipuja selama ini. 1
Tidak satu karyawan pun berani mendekat atau pun mendebat selama rapat. Terpaksa Daren harus turun tangan dan memulangkan Sean dan melarang pria itu tidak bekerja dulu sebelum amarah mereda.
Kepala Sean terangkat, mata birunya berubah pekat saat menatap Daren yang duduk tenang di seberang
“Tidak perlu, dia sengaja pergi tanpa memberi tahu. Wanita itu tidak pantas dicari,” ucap Sean dengan suara berat baritone yang dalam dan penuh emosi. 2
Sayangnya, Daren berpikir sebaliknya.
“Kau akan terus bersikap seperti ini, bila pertanyaan di hati tentang alasan gadis itu pergi tidak terjawab. Aku mengenalmu dengan baik, Sean. Kau bisa berbohong tetapi matamu berkata lain.”
Sean mendengus lalu berdiri dan berjalan menuju pantry. Dia membuat kopi dan berusaha menenangkan diri. 1
Daren ikut berdiri tetapi menolak untuk mendekati Sean yang sedang memupuk emosi.
“Aku benar-benar tidak tahu kau memiliki hubungan dengan wanita itu,” gumam Daren tanpa bermaksud Sean mendengar,
Kepala Sean semakin merunduk, menatap ke gelas kopi di tangan.
“Kehidupan pribadiku bukan topik yang menarik.”
“Katakan itu pada ribuan copy majalah dan berita di TV,” ujar Daren sembari menghela napas
lelah.
Mata Sean melirik sahabatnya yang berdiri di ambang pintu pantry.
“Aku hanya ingin sedikit waktu, tetapi…,” ucapan Sean terhenti. Jemarinya meremas gelas di
tangan.
“Kau benar-benar pria paling keras kepala yang kukenal.” Daren menggelengkan kepala, dan beranjak dari sana. “Sedari awal kau sudah tahu alasan gadis itu pergi karena pemberitaan yang ada, tetapi kau bersikap pura-pura. Sekarang aku yang akan mengatakan padamu; jangan cari wanita itu. Lupakan dia dan jalani hidupmu,” desis Daren membalikan ucapan Sean yang tadi.
Ada rasa marah di hati karena Sean tampak bimbang. Dia tahu sahabatnya masih memiliki alasan lain, tetapi Daren menolak untuk tahu. Percuma berbicara pada manusia batu.
Baru saja Daren hendak melangkah keluar saat tiba-tiba Sean menghentikannya.
“Ibu ingin aku menikahi Evelyn.”
Tubuh Daren berputar kembali menghadap Sean yang bersandar di meja pantry. Kedua tangan Sean meremas sisi meja yang ada di balik tubuh. (1
Udara di Moines turun beberapa derajat hingga menyebabkan suhu ruangan menjadi dingin. Via berjalan tertatih menuju perapian untuk menyalakan pemanas. Dia mendengar suara angin yang keras seolah hendak membongkar setiap dinding pada rumah tua. Sesekali Via melirik ke luar melalui jendela dekat ruang tengah.
Jalanan sepi tanpa satu kendaraan melewati. Perasaan Via berubah cemas, dia segera berlari ke kamar untuk mengambil ponsel yang tertinggal. 2
Via kembali ke ruang tengah, menunggu gelisah di depan perapian yang menyala.
Kapan kau kembali?’
Tanya Via pada Willow yang pastinya sibuk bersama keluarga di rumah. Barulah Via sadari dia hanya sendiri bila tidak ada Willow menemani. Bahkan, Via takut menghubungi Disya dan menambah beban pikiran sahabatnya itu.
“Setelah badai reda aku akan segera ke sana.’
Jawab Willow beberapa menit kemudian.
Hati Via sedikit lega, walau masih dilingkupi cemas. Pandangan Via tertuju pada layar ponsel yang menyala. Demi untuk melupakan Sean, sengaja dia mengganti ponsel dengan yang baru lalu membuang miliknya yang lama dalam laci lemari di apartemen milik mereka.
Tanpa ponsel itu pun, Via sudah hapal luar kepala dua nomor pribadi Sean, tetapi Via menolak untuk memprogram ulang nomor-nomor tersebut dalam ponsel barunya. Dia menolak untuk ingat.
Next Chapter